Makalah Makna Hakikat dan Perkembangan Pemikiran HAM - Room Kuliah

Makalah Makna Hakikat dan Perkembangan Pemikiran HAM

BAB I
PEMBAHASAN

Makna, Hakikat, dan Perkembangan Pemikiran HAM


  1. Makna dan Hakikat HAM
Untuk memahami hakikat HAM terlebih dahulu memahami pengertian dasar tentang hak. Secara definitive hak merupakan unsur normative yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Dengan demikian, hak merupakan unsure normative yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi.
HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia. HAM adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran di dalam kehidupan masyarakat. Hak asasi bersifat umum karena diyakini bahwa beberapa hak dimiliki tanpa perbedaan bangsa, ras, agama atau jenis kelamin. HAM bersifat supralegal, artinya tidak tergantung adanya suatu Negara atau undang-undang dasar maupun kekuasaan pemerintah bahkan memiliki kewenangan lebih tinggi karena HAM dimiliki manusia bukan karena kemurahan atau pemberian Negara melainkan karena berasal dari sumber yang lebih tinggi. Disebut HAM karena melekat pada eksistensi manusia yang bersifat universal, merata dan tidak dapat dialihkan karena hakikat HAM merupakan upaya menjaga eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintah baik sipil maupun militer) dan Negara.
Dalam UU HAM Pasal 1 menyatakan bahwa “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Bangsa Indonesia sangat memahami makna dan hakikat HAMkarena pernah dijajah ratusan taahun. Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, hakikatnya merupakan suatu deklarasi HAM yang menyatakan kebebasan dan kemerdekaan adalah hak segala bangsa, yang sekaligus pernyataan untuk menentukan nasib sendiri. Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Pancasila juga menegaskan betapa pentingnya HAM tercermin dalam sila “ Kemanusian Yang Adil dan Beradab ”. Pembukaan UUD 1945 sebagai pokok kaidah fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia, menegaskan pemahaman bangsa Indonesia terhadap HAM dan kerana termuat didalam dasar Negara dan pokok kaidah fundamental Negara maka pelaksanaan HAM juga dimuat di dalam Pasal-pasal UUD 1945, menunjukkan betapa besar perhatian, pemahaman dan kemauan untuk mengimplementasikan. UUD 1945 memuat prinsip-prinsip HAM, meliputi hak-hak individu, social ekonomi dan politik ( Misalnya hak untuk memproleh pengajarn, hak kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, persamaan warga Negara di depan hukum ).
Prinsip dasar yang dianut Indonesia sebagai amanat konstitusi, pelaksanaan HAM harus didasarkan kepada prinsip bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, social budaya dan hak pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan baik dalam penerapan, pelaksanaan dan pemantauan. Sejalan dengan apa yang tertuang didalam pasal 1 (3), Psal 55, dan 56 Piagam PBB, upaya pemajuan dan perlindungan Ham harus dilakukan melalui suatu kerja sama internasional yang berdasarkan prinsip saling menghormati, kesederajatan dan hubungan antar Negara serta hukum Internasional yang berlaku.
HAM dilahirkan oleh suatu komisi PBB yang dipimpin Eleanor Roosevelt dan pada 10 Desember 1948 secara resmi diterima PBB sebagai “ Universal Declaration oh Human Rights “ yang membuat tiga puluh pasal, menjelaskan hak – hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan yang fundamental yang harus dinikmati manusia didunia. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 Piagam PBB yang menegaskan bahwa salah satu tujuan PBB adalah untuk mencapai kerja sama Internasional dalam mewujudkan dan mendorong penghargaan atas HAM dan kemerdekaan yang mendasar bagi semua orang, tanpa membedakan suku bangsa, kelamin, bahasa maupun agama.
Pada awalnya deklarasi ini hanya mengikat secara formal dn moral anggota PBB, tetapi sejak tahun 1957 dilengkapi dengan tiga perjanjian, yaitu sebagai berikut :
  1. Internasional Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights.
  2. International Covenant on Civil and Political Rights.
  3. Optional Protocol to the International covenant on Civil and Political Rights.
Ketiga dokumen tersebut diterima Sidang Umum PBB 16 Desember 1966 dan kepada anggota PBB diberi kesempatan untuk meratifikasi. Setiap negara yang meratifikasi dokumen tersebut berarti terikat dengan ketentuan dokumen tersebut. Konvensi tersebut bertujuan untuk memberi perlindungan hak – hak dan kebebasan pribadi manusia.
Setiap negara yang meratifikasi konvensi tersebut, menghormati dan menjamin semua individu diwilayah kekuasaannya dan mengakui kekuasaan pengadilan hak – hak yang diakui dalam konvensi tersebut tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahas, agama, pendapat politik, asal – usul kebangsaan atau sosial, harta milik, kelahiran atau status lainnya. Meskipun telah disepakati secara aklamasi oleh sejumlah anggota PBB, baru 10 tahun kemudian perjanjian itu dapat diberlakukan. Ini disebabkan pada tahun 1976, baru 35 negara bersedia meratifikasi. Bahkan tidak berbeda dari Indonesia, negara – negara yang merasa dirinya “ champion “ dalam HAM seperti USA dan Inggris hingga awal dekade 1990 – an belum meratifikasi kedua konvensi tersebut.
Berdasarkan beberapa rumusan HAM, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakikat HAM, yaitu sebagai berikut.
  1. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
  2. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial bangsa.
  3. HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.

  1. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HAM
Dalam perkembangannya, pemikiran mengenai HAM mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah peradaban manusia terutama dalam ikatan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasang surut HAM ini, sebenarnay mulai muncul setelah manusia mulai memikirkan tentang dirinya dalam lingkungan alam semesta. Pemikiran mengenai HAM ini mulai menvapai titk paling rendah setelah dikemukakan konsep kedaulatan Tuhan yang didunia barat dalam menghargai harkat dan martabat manusia.
Kadaulatan Tuhan yang dilaksakan raja atau paus, menjadikan raja/paus mempunyai kekuasaan yang maha dahsyat sehingga mengakibatkan hak-hak raja termasuk para keturunannya dan Paus dapat terpenuhi secara optimal, sementara bagi manusia kebanyakan sama sekali tidak memiliki hak apapun. Dalam kondisi yang demikian maka HAM dapat diibaratkan merupakan suatu impian dan barang komoditi yang sangat mahal harganya, sekaligus langka keberadaannya.
Dalam sejarah HAM, pengalaman dunia barat telah memberikan tonggak-tonggak sejarah yang sangat penting dalam perkembangan HAM pada tahun 1215, misalnya perjuangan para bangsawan Inggris berhasil mencatat “Magna Charta” yang membatasi kekuasaan raja John.
HAM yang dirumuskan sepanjang abad ke 17 dan 18 dipengaruhi oleh gagasan hukum alam (natural law) seperti yang dirumuskan John Lock dan J.J.Rousseau yang hanya membatasi kebebasan dalam bidang politik saja. Timbulnya gagasan HAM pada dasarnya merupakan akibat dari berkembangnya aliran rasionalisme.
Perjalanan HAM mempunyai sejarah yang panjang, diperjuangkan oleh umat manusia akibat adanya pertentangan antara manusia dengan negara yang memayunginya maupun penindasan, perbudakan dan sejenis lainnya yang pernah tumbuh dan berkembang dalam peradaban umat manusia. Apabila sejarah perkembangan HAM dikaji, sekurang-kurangnya ada 4 kelompok pemikiran, yaitu sebagai berikut.
  1. Kelompok pertama berpandangan bahwa pengertian HAM berpusat pada hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan politik. Pandangan ini sebagai reaksi keras terhadap kehidupan kenegaraan yang bersifat totaliter dan fasis yang mewarnai kondisi sebelum Perang Dunia (PD) II. Hal yang mendasari pemikiran dan partisipasi tentang HAM pada kelompok ini adalah pemikiran hukum yang sangat menonjol.
  2. Kelompok kedua pembahasan HAM merupakan perluasan HAM dari kelompok pertama. Selepas PD II banyak negara dunia ketiga telah merdeka, lepas dari penjajahan. Kemerdekaan perlu diisi dengan pembangunan disegala bidang kehidupan seperti bidang sosial, ekonomi dan budaya. Pada generasi kedua ini lahir dua covenant, yaitu covenant on Economic, Social and Cultural Right dan International Covenant on Civil and Political Rights. Kedua covenant tersebut disepakati dalam sidang umum PBB 1966. Pada masa generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi keseimbangan dengan hak sosial budaya, hak ekonomi dan hak politik.
  3. Kelompok ketiga merupakan sintetis dari generasi pertama dan kedua. Pada saat berkembangnya kelompok ini kondisi ketidakseimbangan pembangunan memunculkan berbagai kritik yang menyarankan harus ada kesatuan antara hak ekonomi, hak sosial, budaya, hak politik dan hak hukum dalam suatu wadah yang disebut “Pembangunan” (the rights of development). Dalam kelompok di akui banyak kemajuan karena semua hak dapat dilakukan secara bersama-sama, namun masih banyak kesenjangan antara hak-hak tersebut karena penekanan pembangunan pada sekotor ekonomi telah menimbulkan banyak korban dan banyak hak-hak rakyat yang dilanggar. Di dunia ketiga peranan negara sangat dominan dan implementasi HAM didekati secara top down.
  4. Kelompok keempat banyak melakukan kritik terhadap peranan negara yang dominan dalam pembangunan. Kelompok ini menghasilkan deklarasi yang disebut Declaration of the basic duties of Asia people and government. Dalam deklarasi ini masalah HAM dirumuskan lebih berpihak pada perombakan tatanan sosial yang berkeadilan. Selain itu lebih ditekankan pada kewajiban asasi dan bukan pada hak asasi. Alasan dari semuanya adalah kata kewajiban mengandung pengertian keharusan pemenuhan, sedangkan kata hak baru sebatas perjuangan dari pemenuhan hak. Negara diharuskan memenuhi hak asasi rakyat, dengan kata lain negara wajib menjunjung tinggi HAM. Beberapa masalah dalam deklarasi yang terkait dengan HAM dalam kaitan dengan pembangunan sebagai berikut.
  1. Pembangunan bedikari (self development)
Pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan yang membebaskan rakyat dan bangsa dari ketergantungan dan sekaligus memberikan kepada rakyat sumber-sumber daya sosial ekonomi. Relokasi dan redistribusi kekayaan dan modal nasional harus dilakukan dan sudah waktunya sasaran pembangunan itu ditujukan kepada rakyat banyak dipedesaan.


  1. Perdamaian
Masalah perdamaian tidak semata-mata berarti anti perang, anti nuklir dan anti perang bintang. Akan tetapi, justru lebih dari suatu upaya untuk melepaskan diri dari budaya kekerasan dengan segala bentuk tindakan. Hal itu berarti penciptaan budaya damai menjadi tugas semua pihak baik rakyat, negara, regional maupun dunia internasional.
  1. Partisipasi rakyat
Soal partisipasi rakyat ini adalah suatu persoalan hak asasi yang sangat mendesak untuk terus diperjuangkan baik dalam dunia politik maupun dalam persoalan publik lainnya.
  1. Hak-hak budaya
Di beberapa masyarakat menunjukkan tidak dihormatinya hak-hak budaya. Adanya upaya dan kebijakan penyeragaman budaya oleh Negara merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi berbudaya karena mengarah ke penghapusan kemajemukan budaya yang menjadi identitas kekayaan suatu komunitas warga dan bangsa.
  1. Hak keadilan sosial
Keadilan sosial tidak saja berhenti dengan naiknya pendapatan perkapita, tetapi justru baru berhenti pada saat tatanan sosial yang tidak adil dijungkirbalikkan dan diganti dengan tatanan sosial yang berkeadilan.



  1. Hak Asasi dalam Islam
Isu pelaksanaan HAM tidak lepas dari perhatian umat islam karena mayoritas negara-negara islam merupakan bagian negara dunia ketiga yang banyak merasakan ketidakadilan perlakuan negara-negara barat dengan atas nama HAM dan demokrasi.
Dari segi tujuan, ajaran islam tentang HAM mempunyai persamaan dengan yang terdapat dalam UUD 1945 dan deklarasi sedunia tentang HAM, baik yang dikeluarkan pada 10 Desember 1948 maupun 1966.
Dalam ajaran islam, manusia ditempatkan pada kedudukan setara dan sejajar dengan manusia lainnya. HAM yang dimiliki manusia dalam ajaran islam bukan sesuatu yang telah dimiliki manusia sejak awal tertanam dalam dirinya (inherent), akan tetapi sebagai karunia Allah SWT yang diberikan kepada manusia dengan segala persayaratn dan pertanggung jawaban. HAM dalam islam berbeddda dari segi asal-usul, hakikat, dan cara pelaksanaannya.
Menurut ajaran islam, perbedaan stu individu dengan individu lainnya, terjadi bukan karena haknya sebagai manusia melinkan didasarkan pada keimanan dan ketaqwaannya dan perbedaan ini tidak menyebabkan perbedaan dalam kedudukan sosial. Pemikiran ini yang menjadi sumbangan yang sangat besar pada perkembangan HAM dalam masyarakat internasional.
Dalam sejarah islam, yang berkaitan dengan HAM terdapat dua deklarasi, yaitu “Piagam Madinah” dan “Deklarasi Kairo”. Konsep dasar dari deklarasi tersebut adalah kesepakatan perlindungan dan jaminan hak-hak semua warga masyarakat tanpa melihat latar belakang suku dan agama di kota Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW.
Piagam Madinah bertujuan menciptakan keselarasan dan keserasian dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya dan pengembangan toleransi antar pemeluk agama penduduk Madinah yang majemuk. Setiap warga Madinah berkewajiban membela Madinah dari ancaman atau serangan dari luar. Dari sisi pemerintahan, piagam Madinah merupakan alat legitimasi Nabi Muhammad SAW untuk menjadi pemimpin umat majemuk di kota Madinah dengan menekankan asas kesetaraan dan kesamaan pada masyarakatnya. Deklarasi Kairo adalah deklarasi yang dihasilkan dari sidang organisasi konferensi islam (OKI) pada tahun 1990. Konsep deklarasi Kairo ini diangkat dari Alquran dan Sunah. Dalam deklarasi Kairo terdapat 24 pasal tentang HAM.

  1. HAM di Indonesia
Hak asasi Indonesia dimasukkan dalam UUD 1945 meskipun tidak secara rinci. Hal ini disebabkan ada dua pandangan pemikiran yang berbeda yaitu Prof: Dr. Soepomo dan Ir. Soekarno di satu sisi dan Drs. Mohamad Hatta di sisi lain. Soepomo mendukung gagasan tentang negara integral.
Sistem pemerintahan yang cocok bagi bangsa Indonesia adalah Demokrasi yang telah lama hidup dan berkembang di pedesaan. Menurut Soepomo, dalam UUD 1945 tidak perlu dimasukkan pasal – pasal yang menyangkut perseorangan / individu karena apabila dimasukkan akan bertentangan dengan konstruksinya, yaitu UUD 1945. Sejalan dengan Soepomo, Soekarno sangat menentang liberalisme yang menjadi hak – hak individu. Oleh karena itu, Soekarno menyatakan apabila negara kita betul – betul hendak mendasarkan pada paham kekeluargaan, paham tolong – menolong, paham gotong – royong dan keadilan sosial maka enyahlah tiap – tiap pikiran, tiap – tiap paham individualisme dan liberalisme.
Sedangkan Mohamad Haatta dengan gigih memperjuangkan hak – hak warga negara. Menurut pendapatnya, dalam konstitusi harus ada perlindungan dasar dalam konstitusi dan tidak harus berkembang dengan liberalisme. Apabila negara kekeluargaan dibangun tetap perlu ditetapkan beberapa hak warga negara karena jaminan terhadap hak tersebut mencegah timbulnya negara kekuasaan. Namun demikian, ada kesejajaran pemikiran Soekarno dan Hatta selaku “ Dwi Tungggal “ yang menitikberatkan pada pemikiran kebersamaan, integrasi dan kesetiakawanan. Pemikiran integratif ini yang banyak mewarnai UUD 1945.
UUD 1945 disusun dalam waktu yang ssangat singkat menjelang akhir pendudukan Jepang dan selama pendudukan tersebut Indonesia tertutup dari dunia luar. UUD 1945 diundangkan sebelum pernyataan sedunia tentang HAM. UUD 1945 singkat dan simpel sehingga tidak banyak atau kurang lengkap mencantumkan HAM. Konstitusi RIS ( 1949 ) dan UUDS ( 1950 ) makin banyak mencantumkan HAM di dalamnya sebagaimana yang telah diputuskan PBB. Meskipun UUD 1945 tidak banyak mencantumkan HAM, bukan berarti para pencetusnya tidak memperhatikan HAM. Di dalam paragraf terakhir UUD 1945 merupakan komitmen yang sangat mendasar terhadap HAM. Perjuangan dalam menegakkan HAM merupakan tugas dan kewajiban negara.
Dalam masa orde baru beberapa langkah penting dilakukan dalam upaya HAM, yaitu sebagai berikut :
  1. MPR membentuk panitia dengan tugas menyusun konsep HAM dan hak warga negara, namun konsep ini tidak pernah disahkan.
  2. TAP MPR No.II Tahun 1978 tentang P4 menyebutkan manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan YME, yang sama derajat, sama haknya dan kewajiban asasinya.
  3. TAP MPR No.IV Tahun 1978 yang mengamanatkan penyusunan UU yang menyangkut hak dan kewajiban asasi warga negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan UUD 1945.
  4. Dalam GBHN 1988, dirumuskan dalam upaya pembangunan hukum perlu ditingkatkan langkah-langkah untuk mengembangkan menegakkan secara serasi hak dan kewajiban asasi warga negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan UUD 1945.

  1. HAM dalam Amandemen 1945
Sejak diberlakukan kembali UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, praktis secara yuridis UUD 1945 belum pernah mengalami perubahan. Meski dalam praktik ketatanegaraan sejatinya sudah mengalami perubahan berulangkali. Perubahan yang terjadi sebenarnya hanya bermakna penafsiran artinya pelaksanaan UUD 1945 yang dalam kurun waktu demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila harus diletakkan secara murni dan konsekuen ternyata hanya sebatas retorika politik dari pemegang kekuasaan dimasing-masing era tersebut. Praktik ketatanegaraan justru jauh dari nilai-nilai demokrasi dan penghargaan terhadap HAM sebagaimana digariskan oleh UUD 1945.
Gerakan reformasi yang digulirkan mahasiswa sejak permulaan tahun 1998 ternyata telah mengubah peta kekuasaan dan sistem ketatanegaraan Indonesia. Terkait dengan hal ini, kesakralan UUD 1945 yang pernah dicanangkan oleh rezim kekuasaan di Indonesia mulai diganggu gugat. Dengan kondisi yang demikian maka terjadi paradigma baru dalam wacana politik dan ketatanegaraan Indonesia yaitu dengan lebih membuka diri untuk mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi pemerintahan dan penghargaan terhadap HAM.
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 di dalam Konsideran Menimbang menyatakan “bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati HAM yang termaktub dalam Deklarasi HAM PBB serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai HAM’. Dengan adanya Ketetapan MPR ini maka mulai tahun 1998 pemerintah Indonesia dan berbagai komponen suprastruktur politik lainnya mulai melakukan berbagai langkah untuk merumuskan dan mengimplementasikan HAM.
Dalam Pasal 1 Ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 secara tegas menyatakan “Menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat”.
Lebih lanjut dalam Pasal 2 juga menyatakan “menugaskan kepada Presiden RI dan DPR RI untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945”.
Di Indonesia, HAM diatur secara formal dalam sistem hukum nasional. Dalam amandemen 1945 HAM dituangkan dalam BAB X (warga negara dan penduduk), BAB X.A dan BAB XI. Tentu saja tidak hanya BAB dan pasal tersebut yang berkaitan dengan HAM, tetapi juga pasal lainnya, seperti agama, pendidikan dan kebudayaan dan perekonomian sangat berkaitan dengan HAM. Lebih dari itu telah ada UU. No.39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No.26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM.
Lebih lanjut, secara lengkap pengaturan mengenai HAM di dalam Amandemen UUD 1945 adalah sebagai berikut.
  1. Pasal 27
    1. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
    2. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
    3. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
  2. Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
    1. Pasal 28 A:
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
    1. Pasal 28 B
      1. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
      2. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
    2. Pasal 28 C
      1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapakan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia.
      2. Setiap orang berhak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara.
    3. Pasal 28 D
      1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
      2. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
      3. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
      4. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
    4. Pasal 28 E
      1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali.
      2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
      3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
    5. Pasal 28 F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
    1. Pasal 28 G
      1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
      2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
    2. Pasal 28 H
      1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
      2. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
      3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
      4. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.
    3. Pasal 28 I
      1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
      2. Setiap orang berhak bebas dari perikelakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun ddan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu
      3. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
      4. Perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
      5. Untuk menegakkan dan melindungi HAM dengan prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
    4. Pasal 28 J
      1. Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
      2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memnuhi tuntunan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis
    5. Pasal 29 ayat (2) : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan memperhatikan pasal-pasal hasil Amandemen UUD 1945 tersebut, ternyata dalm merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan HAM masih bersifat tumpang tindih dan tidak sistemis dan terjadi duplikasi disana-sini. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah Pasal 28 1 dan Pasal 29 ayat (2). Kedua pasal tersebut secara tegas sama-sama memberikan perlindungan HAM dibidang agama.

  1. HAM menurut UU No. 39 Tahun 1999
Pada hakikatnya UU No. 39 tahun 1999 merupakan UU yang dibentuk dengan cara mempersatukan pemahaman sifat universalitas dan sifat kontekstualitas dari HAM. Sifat Universalitas dari HAM mengandung dimensi individualistik, sedangkan sifat kontekstualitasnya mengandung dimensi budaya yang berlaku di suatu komunitas masyrakat. Kolaborasi kedua sifat itu nampak jelas didalam Pasal 6 yang menyatakan :
Dalam rangka penegakan HAM, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah.
Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Pasal tersebut dianggap merupakan langkah kolaborasi sifat universalitas dan kontekstualitas HAM karena pada hakikatnya UU No.39 Tahun 1999 di sassmping mengadopsi secara penuh Deklarasi Sedunia tentang HAM, juga masih tetap memberikan ruang gerak bagi komunitas-komunitas masyarakat adat dan budaya di Indonesia untuk mengembangkan sendiri pemahaman mengenai hak dan kewajiban para anggota komunitas masing-masing.
Bahkan dalam hal ini UU tersebut memberikan perlindungan terhadap eksistensinya.

  1. BENTUK-BENTUK HAM
Prof. Bagir Manan membagi HAM pada beberapa kategori yaitu dari sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan budaya. Hak sipil terdiri dari hak diperlakukan sama di muka hukum, hak bebas dari kekerasan, hak khusus bagi kelompok anggota masyarakat tertentu dan hak hidup dan kehidupan. Hak politik terdiri dari hak kebebasan berserikat berkumpul, hak kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dantulisan, dan hak menyampaikan pendapat di muka umum, hak ekonomi terdiri dari hak jaminan sosial, hak perlindungan kerja, hak perdagangan dan hak pembangunan berkelanjutan. Hak sosial budaya terdiri dari hak memperoleh pendidikan, hak kekayaan intelektual, hak kesehatan dan hak memperoleh perumahan dan pemukiman.
Sementara itu, Prof. Baharudin Lopa membagi HAM dalam beberapa jenis yaitu hak persamaan dan kebebasan, hak hidup, hak memperoleh perlindungan, hak penghormatan pribadi, hak menikah dan berkeluarga, hak wanita sederajat dengan pria, hak anak dan orang tua, hak memperoleh pendidikan, hak kebebasan memilih agama, hak kebebasan bertindak dan mencari suaka, hak untuk bekerja, hak, hak memperoleh kesempatan yang sama, hak milik pribadi, hak menikmati hasil/produk ilmu dan hak tahanan dan narapidana.





















NILAI-NILAI HAM
A.ANTARA NILAI UNIVERSIAL DAN KONTEKSTUAL
Budaya merupakan suatu ungkapan yang bermakna ganda. Distu sisi bisa diartikan sebagai perilaku manusia dalam menaggapi suatu fenomena kehidupan kemasyarakatan, sedangkan disisi lain dapat diartikan sebagai hasil cipta, karsa dan karya manusia guna mengekspresikan dirinya dalam ikatan hidup masyarakat, bangsa maupun negara. Kedua arti tersebut pada hakikatnya tetap bermuara pada keberadaan manusia itu sendiri sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.
Dalam wacana kebudayaan, sering muncul stereotype yang mencoba melakukan dikotomi antara kebudayaan barat dan kebudayaan timur. Barat dianggap memiliki budaya yang bersifat individualistik sedangkan timur menekankan budaya komunalitas dan kebersamaan dalam ikatan kehidupan masyarakat. Budaya timur menganggap bahwa harkat dan martabat manusia akan semakin bernilai jiak ada keselarasan, keharmonisan dan keseimbangan antara kepentingan individu dan kelompok. Wacana kebudayaan semacam ini akan sangat berpengaruh terhadap implementasi HAM secara kontekstual artinya penerapan HAM memiliki korelasi positif dengan kontekstualitas budaya dari suatau masyarakat negara.
Wacana mengenai kontekstualitas budaya dalam pelaksanaan HAM pernah dimunculkan oleh soepono pada saat menyampaikan pidato pada tanggal 31 mei 1945 dihadapan sidang BPUPKI. Beliau mengemukakan bahwa dalam konsep negara integralistik, prinsip-prinsip mendasar HAM itu tidak akan cocok untuk diterapkan karena mengambil nilai-nilai budaya barat yang individualis. Lebih lanjut dikemukakan bahwa dengan adanya jaminan terhadap HAM justru mencerminkan sikap keraguan, ketidakpercayaan dan curiga terhadap kekuasaan.
Tuduhan bahwa HAM itu adalah konsepsi individualistis menurut Frans Magnis Suseno berdasarkan dua pertimbangan, yaiu sebagai berikut.
  1. Paham HAM memfokuskan perhatian orang pada hak-haknya sendiri. Masyarakat lalu sekadar sebagi sarana pemenuhan kebutuhan individual saja.
  2. Paham HAM dilihat menempatkan individu, kelompok dannn golongan masyarakat berhdapan dengan negara dan bukan dalam kesatuan dengannya. Warga masyarakat bukannya menyatu dengan negara melainkan diandaikann perlu dilindungi terhadapnya.

Argumentasi semacam ini nampak sekali dalam konsep kebudayaan Jawa yang “dianggap sebagai cerminan budaya timur”. Dalam konsep Budaya Jawa, Keselarasan, keharmonisan dan keseimbangan hidup antara individu dan masyarakat menjadi acuan utama dalam mengembangkan harkat dan martabat manusia. Individu dan kelompok, baik itu suatu komunitas kehidupan bersama maupun dalam kaitannya dengan negara sebagai organisasi kekuasaan merupakan kesattuan yang tak terpisahkan. Dengan konsep budaya ini maka persoalan HAM berikut perlindungan terhadapnya dianggap tidak relevan untuk diterapkan.
Argumentasi tersebut menunjukkan bahwa dalam perkembangan pemahaman ide HAM, dapat diambil pengertian bahwa konsep HAM berdimensi ganda, yaitu sebagai berikut :
  1. Dimensi Universalitas yaitu substansi HAM itu pada hakikatnya bersifat umum dan tidak terikat oleh waktu dan tempat. HAM akan selalu dibutuhkan oleh siapa saja dan dalam aspek kebudayaan dimana pun berada, entah di dalam kebudayaan Barat maupun Timur. Dimensi HAM seperti ini, pada hakikatnya akan selalu dibutuhkan dan menjadi sarana bagi individu untuk mengekspresikan dirinya secara bebas dalam ikatan kehidupan kemasyarakatan. Dengan kata lain, HAM itu ada karena yang memiliki hak-hak itu adalah manusia sebagai manusia, jadi sejauh manusia itu spesies homo sapiens dan bukan karena ciri-ciri tertentu yang dimiliki.
  2. Dimensi Kontekstualitas, yaitu menyangkut penerapan HAM bila ditinjau dari tempat berlakunya HAM tersebut. Maksudnya adalah ide-ide HAM dapat diterapkan secara efektif, sepanjang “tempat” ide-ide HAM memberikan suasana kondusif untuk itu. Dengan kata lain, ide-ide HAM akan dapat dipergunakan secara efektif dan menjadi landasan ettik dalam pergaulan manusia jika struktur kehidupan masyarakat barat maupun timur sudah tidak memberikan tempat bagi terjaminnya hak-hak individu yang ada didalamnya.
Dua dimensi inilah yang memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan ide-ide HAM di dalam komunitas kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Oleh sebab itu dengan adanya dua dimensi tersebut, perdebatan mengenai pelaksanaan ide-ide HAM yang selalu diletakkan dalam konteks budaya, suku, ras maupun agama sudah tidak mempunyai tempat lagi atau tidak relevan dalam wacana publik masyarakat modern.
Wacana atau perdebatan tentang nilai-nilai HAM apakah universal (artinya nilai-nilai HAM berlaku umum disemua negara) atau partikular (artinya nilai-nilai HAM pada suatu negara sangat kontekstual, yaitu mempunyai kekhususan dan tidak berlaku untuk setiap negara karena ada keterkaitan dengan nilai – nilai kultural yang tumbuh dan berkembang pada suatu negara ) tidak berlanjut. Berkaitan dengan nilai – nilai HAM paling tidak ada tiga teori yang dapat dijadikan kerangka analis, yaitu teori realitas ( realistic theory ), teori relativisme kultural ( cultural relativism theory ) dan teori radikal universalisme ( radical universalisme ).
Teori realitas mendasari pandangannya pada asumsi adanya sifat manusia yang menekankan Self interest dan egoisme dalam dunia seperti bertindak anarkis. Dalam situasi anarkis, setiap saling mementingkan dirinya sendiri sehingga menimbulkan chaos dan tindakan tidak manusiawi diantara individu dalam memperjuangkan egoisme dan self interest-nya. Dengan demikian, dalam siruasi anarkis prinsip universalitas moral yang dimiliki setiap individu tidak dapat berlaku dan berfungsi. Untuk mengatasi situasi demikian negara harus mengambil tindakan berdasarkan power dan security yang dimiliki dalam rangka menjaga kepentingan nasional dan keharmonisan sosial dibenarkan. Tindakan yang dilakukan negara seperti tersebut tidak masuk dalam kategori tindakan pelanggaran HAM oleh negara.
Sementara itu teori relativitas kultural berpandangan bahwa nilai – nilai moral dan budaya bersifat partikular ( khusus ). Hal ini berarti bahwa nilai – nilai moral HAM bersifat lokal dan spesifik sehingga berlaku khusus pada suatu negara. Dalam kaitan dengan penerapan HAM, menurut teori ini ada tiga model penerapan HAM, yaitu :
  1. Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak sipil, hak politik dan hak pemilikan pribadi;
  2. Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak ekonomi dan hak sosial;
  3. Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak penentuan nasib sendiri ( self determination ) dan pembangunan ekonomi.

Model pertama banyak dilakukan oleh negara – negara yang tergolong dnia maju, model kedua banyak diterapkan didunia berkembang dan untuk model ketiga banyak diterapkan di dunia terbelakang. Selanjutnya, teori radikal universalitas berpandangan bahwa semua nilai termasuk nilai – nilai HAM adalah bersifat universal dan bisa dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah suatu negara. Kelompok radikal universalitas menganggap ada satu paket pemahaman mengenai HAM bahwa nilai – nilai HAM berlaku sama disemua tempat dan sembarang waktu serta dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Dengan demikian, pemahaman dan pengakuan terhadap nilai – nilai HAM berlaku sama dan universal di semua negara dan bangsa.
Dalam kaitannya dengan ketiga teori tentang nilai – nilai HAM itu dua arus pemikiran atau pandangan yang saling tarik menarik dapat melihat relativitas nilai – nilai HAM, yaitu Strong relativist dan weak relativist. Strong relativist beranggapan bahwa nilai HAM dan nilai lainnya secara prinsip ditentukan oleh budaya dan lingkungan tertentu, sedang universalitas nilai HAM hanya menjadi pengontrol dari nilai – nilai HAM yang didasari oleh budaya lokal atau lingkungan yang spesifik. Berdasarkan pandangan ini diakui adanya nilai – nilai HAM lokal ( partikular ) dan nilai – nilai HAM universal. Sementara Weak relativist memberi penekanan bahwa nilai – nilai HAM bersifat universal dan sulit untuk dimodifikasi berdasarkan pertimbangan budaya tertentu. Berdasarkan pandangan ini nampak tidak adanya pengakuan terhadap nilai – nilai HAM lokal melainkan hanya mengakui adanya nilai HAM universal.

    1. NILAI – NILAI HAM
Nilai – nilai HAM terdapat dalam :
  1. Universal Declaration of Human Rights, menyatakan bahwa setiap orang mempunyai :
  1. Hak untuk hidup
  2. Kemerdekaan dan keamanan badan
  3. Hak untuk diakui kepribadiannya menurut hukum
  4. Hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum
  5. Hak untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana seperti diperiksa dimuka umum, dianggap tidak bersalah, kecuali ada bukti yang sah.
  6. Hak untuk masuk dan keluar wilayah suatu negara
  7. Hak untuk mendapat hak milik atas benda
  8. Hak untuk bebas mengutarakan pikiran dan perasaan
  9. Hak untuk bebas memeluk agama serta mempunyai dan mengeluarkan pendapat
  10. Hak untuk berapat dan berkumpul
  11. Hak untuk mendapatkan jaminan sosial
  12. Hak untuk mendapatkan pekerjaan
  13. Hak untuk berdagang
  14. Hak untuk mendapatkan pendidikan
  15. Hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
  16. Hak untuk menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan

Piagam Madinah, ada dua hal yang diakui :
  1. Semua pemeluk islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa;
  2. Hubungan antara komunitas muslim dan nonmuslim didasarkan pada prinsip - prinsip :
1). Berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga;
2). Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama;
3). Membela mereka yang teraniaya;
4). Menghormati kebebasan beragama;
5). Saling menasehati.

Pasal – pasal yang berkaitan dengan HAM dalam deklarasi Kairo :
a.Hak persamaan dan kebebasan ( pasal 19 ayat a – e ). Pasal ini berdasarkan pada :
1). Surat Al – Israa’ ayat 70.
2). Surat An – Nisaa’ ayat 58, 105, 107, 135.
3). Surat Al – Mumtahanah ayat 8.

b. Hak hidup ( pasal 2 ayat a – d ). Pasal ini berdasarkan pada :
1). Surat Al – Maidah ayat 45
2). Surat Al – Isra ayat 33

  1. Hak memperoleh perlindungan ( pasal 3 ). Pasal ini berdasarkan pada :
1). Surat Al – Insaan
2). Surat Al – Balad ayat 12 – 17
3). Surat At – Taubah ayat 6

  1. Hak kehormatan pribadi ( pasal 4 ). Paasal ini berdasarkan pada Surat At – taubah ayat 6

  1. Hak menikah dan berkeluarga ( pasal 5 ayat a dan b ). Pasal ini berdasarkan pada :
  1. SuratAl – Baqarah ayat 221
  2. Surat Ar – Ruum ayat 21
  3. Surat an – Nissa ayat 1
  4. Surat At – Tahrim ayat 6

  1. Hak wanita sederajat dengan pria( pasal 6 ). Pasal ini berdasarkan pada Surat Al – Baqarah ayat 228

  1. Hak – hak anak dari orang tua ( pasal 7 ayat a – c ). Pasal ini berdasarkan pada :
1). Surat Al – Baqarah atay 233
2). Surat Al – Israa ayat 23 – 24

  1. Hak memperoleh pendidikan dan berperan serta dalam perkembangan ilmu pengetahuan ( pasal 9 ayat a dan b ). Pasal ini berdasarkan pada :
1). Surat At – Taubah ayat 122
2). Surat Al – Alaq ayat 1 – 5

  1. Hak Kebebasan memilih agama ( pasal 10 ). Pasal ini berdasarkan pada :
1). Surat Al – Baqarah ayat 256
2). Surat Al – Kahfi ayat 29
3). Surat Al – Kafiruun ayat 1 – 6

  1. Hak kebebasan bertindak dan mencari suaka ( pasal 12 ). Pasal ini berdasarkan pada :
1). Surat An – Nissa ayat 97
2). Surat Al – Mumtahanah ayat 9

  1. Hak – hak untuk bekerja ( Pasa 13 ). Pasal ini berdasarkan pada :
1). Surat At – taubah ayat 105
2). Surat Al – Baqarah ayat 286
3). Surat Al – Mulk ayat 15

  1. Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama ( Pasal 14 ). Pasal ini berdasarkan pada :
1). Surat Al – baqarah ayat 275 – 278
2). Surat An – Nisaa ayat 161
3). Surat Ali Imran ayat 130

  1. Hak milik pribadi ( Pasal 15 ayat a – b ). Pasal ini berdasarkan pada :
1). Surat Al – Baqarah ayat 29
2). Surat An – Nissa ayat 29

  1. Hak menikmati hasil atau produk ilmu ( Pasal 16 ) . Pasal ini berdasarkan pada :
1). Surat Al – Ahqaaf ayat 19
2). Surat Al – Baqarah ayat 164

  1. Hak tahanan dan naraidana ( Pasal 20 21 ). Pasal ini berdasarkan pada Surat Al – Mumtahanah ayat 8.
    1. Dalam Deklarasi Universal tentang HAM atau yang dikenal dengan DUHAM, HAM terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu hak personal( hak jaminan kebutuhan pribadi ), hak legal ( hak jaminan perlindungan hukum ), hak sipil dan politik, hak subsistensi ( hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan ), serta hak ekonomi, sosial dan budaya.

Hak personal, hak legal, hak sipil dan hak politik yang terdapat dalam Pasal 3 sampai 21 dalam DUHAM memuat :
  1. Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi
  2. Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan
  3. Hak bebas dari penyiksaan atau perilakuan maupun hukuman yang kejam, tak berperikemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan
  4. Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja secara pribadi
  5. Hak untuk pengampunan hukum secara efektif
  6. Hak bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang sewenang-wenang
  7. Hak untuk peradilan yang independen dan tidak memihak
  8. Hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah
  9. Hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal maupun surat-surat
  10. Hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik
  11. Hak atas perlindungan Hukum terhadap serangan semacam itu
  12. Hak bergerak
  13. Hak memperoleh suaka
  14. Hak atas satu kebangsaan
  15. Hak untuk menikah dan membentuk keluarga
  16. Hak untuk mempunyai hak memiliki
  17. Hak bebas berfikir, berkesadaran dan beragama
  18. Hak bebas berfikir, dan menyatakan pendapat
  19. Hak untuk berhimpun dan berserikat
  20. Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintah dan hak atas akses yang sama terhadaaaap pelayanan masyarakat.


Hak ekonomi, sosial dan budaya berdasarkan pada pernyataan DUHAM menyangkut hal-hal yaitu:
  1. hak atas jaminan sosial
  2. hak untuk bekerja
  3. hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama
  4. hak untuk bergabung ke dalam serikat-serikat buruh
  5. hak atas standar hidup yang pantas dibidang kesehatan dan kesejahteraan
  6. hak atas pendidikan
  7. hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat.
Dalam UUD 1945 (amandemen I-IV UUD 1945) memuat HAM yang terdiri dari hak:
  1. hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat
  2. hak kedudukan yang sama di dalam hukum
  3. hak kebebasan berkumpul
  4. hak kebebasan beragama
  5. hak penghidupan yang layak
  6. hak kebebasan berserikat
  7. hak memperoleh pengajaran atau pendidikan
Secara operasional beberapa bentuk HAM terdapat dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yaitu:
  1. hak untuk hidup
  2. hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
  3. hak mengembangkan diri
  4. hak memperoleh keadilan
  5. hak atas kebebasan pribadi
  6. hak atas rasa aman
  7. hak atas kesejahteraan
  8. hak turut serta dalam pemerintahan
  9. hak wanita
  10. hak anak.


PELANGGARAN, PENGADILAN, DAN PENEGAKAN HAM

  1. PELANGGARAN HAM
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan / mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku. Dengan denmikian, pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakan.
Deklarasi HAM Universal (1948) lahir sebagai akibat pelanggaran HAM yang sangat berat selama PD II. Selama penjajahan Japan (1942-1945) rakyat Indonesia sangat menderita, dengan pelanggaran HAM yang berat, antara lain kekejaman Polisi Militer Japan, Pengiriman dengan Paksa ribuan tenaga kerja (Romusha) ke Birna dan Thailand dan pengerahan wanita penghibur bagi tentara wanita.
Pada era revolusi fisik atau Perang Kemerdekaan (1942-1945) terkenal kekejaman Polisi Rahasia Belanda terhadap para pejuang kemerdekaan yang ditawan oleh Belanda. Pembantaian terhadap kira-kira 40.000 rakyat Sulawesi Selatan oleh Kapten Westerling merupakan pula noda sejarah pada era perang kemerdekaan. Demikian pemberontakan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia
(DI/TII) pada awal tahun lima puluhan di Jawa Barat diduga tidak lepas dengan kekejaman para pemberontak tersebut terhadap rakyat dan prajurit TNI dan sebaliknya.
Setelah masa-masa tersebut, pelanggaran HAM massih terus berlanjut . Menurut Pakar Hukum Adnan Buyung Nasution, pelanggaran HAM dapat dikelompokkan menjadi empat golongan yaitu sebagai berikut.

  1. Kejahatan terhadap kemanusiaan, antara lain:
  1. Gerakan 30 september/PKI pada tahun 1965, yaitu pembunuhan terhadap tujuh orang Pahlawan Revolusi, yang disusl oleh pembunuhan terhadap 500.000 orang yang dituduh PKI
  2. Kasus Timor timur pada tahun 1971-1977 dan 1977-1982
  3. Peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984 dengan pembunuhan terhadap kelompok umat Islam.
  4. Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dengan korban meninggal 2.000 dan 7.000 kasus penyelesaian
  5. Penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dengan gugur empat Pahlawan Reformasi
  6. Penembakan terhadap mahasiswi dalam peristiwa semanggi pada tahun 1998
  1. Kejahatan terhadap integritas orang, antara lain :
  1. Arbritori arrset and dendemtion (komunis) pada tahun 1965-1971
  2. Arbritori arrset and dendemtion (Peristiwa malari) pada tahun 1971-1977
  3. Penghilangan orang (Timor Timur) pada tahun 1977-1982
  4. Penembakan misterius pada tahun 1982-1983
  5. Peristiwa 27 juli yaitu penyerbuan, perusakan dan pembunuhan pada Markas Partai Demokrasi Indonesia
  1. Tindak kekerasan terhadap hak sipil dan politik, antara lain berikut ini:
  1. Kemerdekaan berserikat dan berkelompok yang secara sistematik dilanggar
  2. Kebijakan kemerdekaan berpendapat dilanggar
  3. Kebijakan dari lembaga Ekstra-Yudisial yang mencampuri fungsi kehakiman
  1. Tindak kekerasan terhadap hak sosial ekonomi dan budaya, antara lain berikut :
  1. pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat
  2. Pelanggaran terhadap hak lingkungan hidup
  3. Pemiskinan secara struktural
  4. Proses pemiskinan

HAM merupakan hak yang ada dalam diri seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME, baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Oleh sebab itu, Pelanggaran HAM dapat dikategorikan merupakan pelanggaran hukum yang sifatnya struktural, artinya pelanggaran itu bukan merupakan pelanggaran biasa melainkan suatu pelanggaran yang sifatnya mengurangi eksistensi keberadaan manusia yang memiliki harkat dan martabat.
Dengan kata lain “pelanggaran hukum yang sifatnya struktural” adalah perbuatan yang secara sistemik dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara yang sifatnya mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut HAM dan dengan adanya tindakan tersebut seseorang atau kelompok orang jadi insan yang telah kehilangan harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME.
Dalam UU No. 39 tahun 1999 tidak membedakan secara tegas antara perbuatan seorang atau kelompok orang maupun aparat negara yang menafikan HAM dimasukkan dalam kategori pelanggaran terhaadap HAM. Berkaitan dengan sifat istimewa ini maka UU ini juga memberikan upaya hukum yang istimewa yaitu dengan cara slass action.
Paal 90 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang dan/atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM”.
Lebih lanjut 101 menyatakan:
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM”.
Ketentuan Pasal 90 ayat (1) dan Pasal 101 mengandung makna bahwa class action ysng dimaksudkan tidak diarahkan kepada mekanisme penyidikan, penyidikan dan penuntutan melainkan hanya diarahkan kepada aspek pelaporannya. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 104 menegaskan:
  1. Untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM dilingkungan peradilan umum.
  2. Pengadilan tersebut dibentuk dengan UU dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.
  3. Sebelum terbentuk pengadilan HAM maka kasus-kasus pelanggaran HAM diadili oleh pengadilan yang berwenang.

Berdasar Pasal 104 itulah, dikeluarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa Pengadilan HAM yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat. Ketentuan semacam ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap HAM merupakan pelanggaran yang bersifat khusus bahkan sebagai pelanggaran yang sifatnya struktural.
Pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang dilakukan oleh aparat, negara maupun masyarakat, secara kuantitas terus meningkat. Hal ini disebabkan belum adanya penyelesaian secara tuntas mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM, meskipun kita memiliki UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Ham. Padahal apabila ditelaah, UU tentang pengadilan HAM telah memberikan kewenangan penuh, antara lain berikut ini:
  1. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan menuntaskan perkara pelanggaran HAM yang berat.
  2. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan mmutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara RI oleh WNI.
  3. Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutusriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur dibawah 18 tahun pada saat kejahtan dilakukan.
  4. Pelanggaran HAM yang berat meliputi kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan.

Menurut Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 yang dimaksud kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnik, kelompok agama dengan cara:
  1. Membunuh anggota kelompok.
  2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok.
  3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian.
  4. Memaksakan tindakan-tindakanyang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok.
  5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Menurut Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan adalah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
  1. pembunuhan.
  2. Pemusnahan.
  3. Perbudakan.
  4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
  5. Perampasan kemerdekaan yang melanggar ketentuan pokok hukum internasional.
  6. Penyiksaan.
  7. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
  8. Penganiayaan terhadap paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.

Memperhatikan pelanggaran-pelanggaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa sifat struktural dari pelanggaran HAM juga dapat dilihat dari pelaku pelanggaran HAM.
Dalam UU PengadilanHAM, perlindungan terhadap korban dan saksi juga mendapat perhatian di mana korban dan saksi berhak atas perlindungan fisik dan metal dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan. Perlindungan tersebut wajib dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-Cuma. Sebagai konsekuensi dari pelanggaran HAM maka para korban dan ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabitasi yang diatur dengan menggunakan peraturan pemerintah. Ketentuan pidana yang dijatuhkan terhadap pelanggaran HAM, di mana meliputi genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah pidana mati, pidana seumur hidup dan penjara antara 10 sampai 25 tahun.
Oleh karena itu, pelanggaran HAM dapat terjadi dalam dua cara, yaitu sebagai berikut:
  1. Pelanggaran yang dilakukan oleh negara secara aktif dengan tindakan yang bersifat langsung sehingga menimbuulkan pelanggaran HAM.
  2. Pelanggaran yang timbul akibat kelalaian negara.

B. PENEGAKAN HUKUM
Implementtasi demokrasi dan HAM tidak akan bermakna dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat apabila tidak ditunjang dengan penegakan hukum dalam bidangnya. Oleh karena itu, harus diciptakan “ budaya hukum”. Tanpa budaya hukum mudah terjadi pelanggaran hukum dalam masyarakat. Langkah awal yang harus diciptakan untuk menuju budaya hukum adalah membangun kesadaran hukum dalam masyarakat, artinya individu dan masyarakat mematuhi hukum karena suara batinnya yang menghendaki demikian karena hukum itu sendiri dapat menjaminn hak-hak yang sangat diperlukan bagi kelanjutan hidupnya. Kesadaran hukum tidak lahir dengan sendirinya, tetapi dapat tumbuh dari perasaan hukum yang dimiliki setiap orang atau masyarakt.
Adanya perasaan hukum tumbuh ditandai dengan adanya keinginan dari masyarakat itu sendiri untuk senantiasa berbuat yang benar, menegakkan hak dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk masyarakat. Setiap anggota masyarakat hendaknya memiliki pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang sama tentang apa yang patut atau tidak patut dilakukan atau dikerjakan atau meninggalkan hal-hal tercela. Perasaan ini harus tumbuh dan berkembang serta terpelihara sampai meningkat menjadi kesadaran hukum.
Faktor moral sangat berperan kerna dengan moral orang, akan terdorong untuk melakukan hal-hal posotof dan pantas. Apabila kondisi ini ditumbuhkan dalam masyarakat, akan tercipta kedaulatan hukum yang dapat melahirkan negara hukum. Kedaulatan Hukum atau negara hukum dimaksud bukan dalam arti formal saja, tetapi sekaligus dalam arti materil yaitu masyarakat sendiri dengan suara batinya atau dengan kesadaran mematuhi hukum dalam realitas hidup sehari-hari.
Menurut Hugo krabbe, tumbuhnya perasaan hukum akan menjelma menjadi kesadaran hukum yang akan menimbulkan kewajiban bagi setiap orang atau masyarakat untuk mematuhi hukum bukan karena tekanan dari pihak luar (pengusaha)
Contoh : Presiden Kennedy sebagi presiden AS, pada saat melakukan perjalanan secara kebetulan anjingnya ikut serta. Ia menolak kebijakan perusahaan penerbangan yang tidak memungut harga tiket untuk anjingnya. Sang presiden tetap membelikaan tiket untuk anjingnya karena anjingnya memiliki berat badan dan memerlukan tempat dipesawat walaupun hanya inggal dilantai pesawat. Sikap presiden demikian tidak lain karena kepatuhan terhadap hukum AS yang sudah membudaya sehingga setiap orang termasuk presiden merasa tidat tepat diperlakukan istimewa.

Bagaimaimana dengan di Indonesia ? Jika kita tidak mengembangkan budaya hukum dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sekarang, rasanya tidak akan banyak manfaat yang dihasilkan oleh reformasi termasuk reformasi hukum. Bila kita tidak mereformasi tingkah laku melalui peningkatan budaya hukum yang dapat menjamin dilaksankan hasil-hasil reformasi menjadi kenyataan, tampaknya akan sia-sia pengorbanan yang telah dilakukan pada masa orde baru, dimana yang kuat leluasa melakukan pelanggaran HAM sehingga rakyat kecil banyak yang jadi korban.

Jangan lupa bagikan artikel ini ya!

Berikan pendapatmu tentang artikel ini

Notification
Ini adalah popup notifikasi.
Done